Selasa, 21 Mei 2013

Hubungan Antara Thabib (Dokter), Si Sakit (Pasien), Pengobatan dan Hasil Pengobatan

Orang yang mengobati, seperti dokter bertanggung jawab terhadap cara maupun obat yang diberikan kepada si sakit.

Rasulullah SAW. bersabda :
"Barang siapa mengobati seseorang, sedangkan dia tidak mengetahui tentang pengobatan sebelumnya, maka dialah yang bertanggung jawab." H.R. Abu Dawud, Nasaa-i dan Ibnu Majah.

Pengertian ilmuththib dimana orang yang memilikinya disebut thabib (dokter) menurut bahasa arab mempunyai beberapa makna :

  1. Sesuatu yang dapat membawa kebaikan. Jadi thabib(dokter) berarti orang yang dapat memperbaiki secara umum.
  2. Keahlian dan kepintaran. Jadi thabib adalah orang yang memiliki keahlian dan kepintaran.
  3. Adat atau tradisi. Jadi thabib maksudnya adalah orang yang berpegang pada adat (tradisi).
  4. Sihir atau guna-guna. Jadi thabib berarti orang yang melakukan sihir atau guna-guna terhadap orang lain.
Pengertian yang dipakai pada makna di atas adalah kesembuhan, kebaikan yang dilakukan seseorang atas dasar keahlian maupun berdasarkan tradisi yang telah berlangsung selama ini, sehingga seolah-olah si sakit telah disihir menjadi sembuh.

Dari segi hukum hadis di atas menegaskan bahwa seseorang yang telah bertindak ceroboh mengobati orang sakit sedangkan dirinya tidak mempunyai keahlian dalam hal mengobati, maka segala akibat yang terjadi sebab pengobatan itu menjadi tanggung jawabnya sendiri.

Dalam hubungan antara thabib (dokter), si sakit (pasien), pengobatan yang dilakukan dan hasil pengobatan itu sendiri, dapat dibagi kepada 5 (lima) kategori :

1. Dokter ahli yang memberikan pengobatan yang sesuai dengan penyakit si sakit, tetapi menimbulka kemudlaratan bagi si sakit, maka dokter tersebut tidak dapat dituntut pertanggungjawabannya terhadap akibat yang timbul dari pengobatannya tersebut.
Misalnya : Seorang dokter mengkhitan seorang pada waktu yang tepat, anak tersebut sudah masanya dan pantas untuk dikhitan dan obat yang diberikan serta cara pengobatan (pelaksanaan)nya benar. Jika terjadi kelainan atau cacat pada anak tersebut, si dokter tidak dapat dituntut atas akibat khitan yang dilakukannya.

2. Dokter tidak ahli tetapi mengetahui tentang pengobatan penyakit yang diderita si sakit dan akibatnya menimbulkan kemudlaratan bagi si sakit. Dalam hal ini, jika si sakit atau keluarganya mengetahui bahwa dokter tersebut bukan ahlinya tetapi mengizinkan si dokter melakukan pengobata, maka si dokter tidak dapat ditintut atas akibat yang ditimbulkan oleh pengobatan yang dilakukannya itu. Namun jika si sakit menyangka seseorang itu dokter yang ahli, lalu mengizinkan orang itu untuk mengobatinya, maka segala akibat yang ditimbulkan karena kesalahan yang diperbuat orang itu (si dokter) menjadi tanggung jawabnya si dokter / yang mengobati.

3. Dokter ahli yang diizinkan (diminta) untuk mengobati si sakit, lalu ia mempergunakan obat dan cara pengobatan yang benar tetapi tangannya tersalah (salah pegang / salah bagian), maka si dokter dapat dituntut karena kesalahannya tersebut.

4. Dokter ahli dan pintar membuat ramuan obat, lalu ia melakukan penelitian dan melakukan pengobatan berdasarkan hasil penelitiannya tersebut (hasil ijtihadnya) dan ternyata salah sehingga mengakibatkan kematian. Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat. Ulama A : Si dokter diwajibkan membayar diyat atas kematian tersebut kepada keluarganya yang ditinggalkan, dan Ulama B : Diyat atas kematian tersebut menjadi tanggung jawab negara.

5. Dokter ahli melakukan pengobatan dengan benar dan tepat, akan tetapi menimbulkan akibat sampingan yang kecil dan hal ini dilakukannya tanpa seizin si sakit atau walinya. Dalam hal ini si dokter dapat dituntut karena pengobatan yang dilakukannya itu tanpa sepengetahuan si sakit. Jika pengobatan itu dilakukannya dengan izin si sakit ataupun walinya, maka si dokter bebas dari tanggung jawab akibatnya.

Referensi : Buku "Sistem Kedokteran Nabi"

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Leaf